INDONESIAPOLITIK.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 7 UU Pemilu 2017 yang mengatur tentang sistem pemilu perwakilan proporsional terbuka pada Kamis (15 Juni 2023).
Dengan putusan Perkara No. 114/PUU-XX/2022, sistem perwakilan proporsional terbuka tetap digunakan dalam pemilu.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap hakim ketua Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6).
Baca:Â MK Putuskan Sistem Pemilu Hari Ini, Berikut Perbedaan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu tidak dapat dikaitkan hanya dengan pilihan sistem pemilu. Hakim konstitusi Sadli Isra mengatakan bahwa setiap sistem pemilu memiliki kekurangan yang dapat diperbaiki dan dapat disempurnakan tanpa mengubah sistem tersebut.
Sadli Isra mengatakan, menurut Mahkamah, perbaikan dan penyempurnaan dapat dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu dari berbagai segi. Dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.
Pada putusan ini terdapat dissenting opinion dari salah satu hakim, yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Penentangan Sistem Pemilu Terbuka dari Lima Orang
Permohonan uji materi diajukan pada 14 November 2022. Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari lima orang yang menentang sistem perwakilan proporsional terbuka. Mereka menginginkan sistem perwakilan proporsional tertutup yang diberlakukan.
Baca:Â Link and Match Gagal! Sarjana Dominasi Angka Pengangguran
Dalam sistem perwakilan proporsional tertutup, pemilih tidak bisa langsung memilih calon anggota DPR. Pemilih hanya dapat memilih partai, memberi partai kendali penuh atas parlemen.
Penggugat antara lain Demas Brian Wicaksono (PDIP Cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (penduduk Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Sebagai pengacara, mereka memilih pengacara dari Din Law Group.
Dari semua daftar keinginan DPR, hanya PDIP yang menginginkan diberlakukannya sistem perwakilan proporsional tertutup. Pada saat yang sama, parpol lain meminta Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengubah sistem pemilu.
Sebagian besar partai politik menekankan bahwa sistem pemungutan suara yang digunakan dalam pemilu adalah tanggung jawab legislatif, yakni Presiden dan DPR. Karena itu, mereka menilai Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengubah hal tersebut melalui putusan uji materi.